Pengukuran lingkungan kerja sesuai Permenaker 5/2018

EDUKASI AKUALITA

Mengapa Pengukuran Lingkungan Kerja Bukan Sekadar Formalitas: Dampak Nyata terhadap Produktivitas dan Kesehatan Pekerja Menurut Permenaker No. 5 Tahun 2018

Banyak perusahaan telah melakukan pengukuran lingkungan kerja seperti kebisingan, suhu, pencahayaan, dan faktor-faktor lainnya sebagai bagian dari pemenuhan regulasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Namun, pertanyaannya adalah: apakah hasil pengukuran tersebut benar-benar digunakan untuk memperbaiki kondisi kerja, atau hanya menjadi dokumen arsip yang tidak pernah ditindaklanjuti?

Faktanya, lingkungan kerja yang tidak sesuai standar dapat menurunkan produktivitas hingga 20-30%, meningkatkan angka kecelakaan kerja, dan menyebabkan berbagai penyakit akibat kerja yang dapat mengakibatkan kerugian finansial bagi perusahaan dan kesehatan jangka panjang bagi pekerja.

Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No. 5 Tahun 2018 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lingkungan Kerja mengatur secara komprehensif tentang pengukuran, pemantauan, dan pengendalian lima faktor bahaya di tempat kerja: fisika, kimia, biologi, ergonomi, dan psikologi.

Apa Itu Lingkungan Kerja dan Mengapa Penting?

Menurut Sedarmayanti (2013), lingkungan kerja merupakan suatu tempat yang terdapat sejumlah kelompok dimana di dalamnya terdapat beberapa fasilitas pendukung untuk mencapai tujuan perusahaan sesuai dengan visi dan misi perusahaan. Sementara Mangkunegara (2013) mendefinisikan lingkungan kerja sebagai semua aspek fisik kerja, psikologis kerja, dan peraturan kerja yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja dan pencapaian produktivitas.

Heizer dan Render (2015) menekankan bahwa lingkungan fisik di mana para karyawan bekerja dapat memengaruhi kinerja, keselamatan, dan kualitas kehidupan pekerjaan mereka.

Lingkungan kerja terbagi menjadi dua kategori utama:

1. Lingkungan Kerja Fisik

Semua keadaan berbentuk fisik yang terdapat di sekitar tempat kerja yang dapat mempengaruhi karyawan baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti pencahayaan, suhu, kelembaban, kebisingan, dan getaran.

2. Lingkungan Kerja Non-Fisik

Keadaan lingkungan kerja karyawan yang berupa suasana kerja yang harmonis dimana terjadi hubungan atau komunikasi antara bawahan dengan atasan (hubungan vertikal) serta hubungan antar sesama karyawan (hubungan horizontal).

Risiko yang Timbul Apabila Lingkungan Kerja Diabaikan

Mengabaikan kondisi lingkungan kerja dapat menimbulkan dampak serius, baik bagi pekerja maupun perusahaan:

Dampak terhadap Kesehatan Pekerja:

  • Gangguan pendengaran akibat kebisingan melebihi 85 dB selama 8 jam kerja
  • Heat stress atau hipotermia akibat suhu ekstrem
  • Gangguan pernapasan akibat paparan debu, gas, atau bahan kimia
  • Penyakit kulit akibat kontak dengan bahan kimia atau biologis
  • Gangguan muskuloskeletal akibat faktor ergonomi yang buruk
  • Stres kerja dan burnout akibat faktor psikologi yang tidak dikelola
  • Kelelahan mata dan sakit kepala akibat pencahayaan yang tidak memadai

Dampak terhadap Produktivitas dan Perusahaan:

  • Penurunan produktivitas hingga 20-30% pada lingkungan kerja yang buruk
  • Peningkatan angka kecelakaan kerja akibat visibilitas rendah atau kelelahan
  • Tingkat absensi meningkat karena pekerja sering sakit
  • Turnover karyawan tinggi karena ketidaknyamanan di tempat kerja
  • Biaya kesehatan dan kompensasi meningkat untuk klaim penyakit akibat kerja
  • Kualitas produk menurun karena kesalahan kerja akibat kondisi tidak optimal
  • Citra perusahaan buruk di mata calon karyawan dan stakeholder

Studi dari International Labour Organization (ILO) menunjukkan bahwa perusahaan yang mengabaikan K3 lingkungan kerja dapat kehilangan 4-6% dari GDP tahunan akibat biaya langsung dan tidak langsung yang timbul.

Lima Faktor Bahaya dalam Lingkungan Kerja Menurut Permenaker No. 5 Tahun 2018

Permenaker No. 5 Tahun 2018 mewajibkan pengukuran dan pengendalian lima faktor bahaya di tempat kerja:

1. Faktor Fisika

Faktor fisika mencakup kondisi lingkungan kerja yang dapat mempengaruhi kesehatan atau kenyamanan fisik pekerja:

a. Pencahayaan (Illumination)

Pencahayaan yang tidak memadai adalah penyebab utama kualitas dan efisiensi kerja yang buruk. Menurut Robbins (2002), ciri-ciri pencahayaan yang baik meliputi:

  • Sinar cahaya yang cukup
  • Tidak berkilau dan menyilaukan
  • Tidak ada kontras yang tajam
  • Cahaya terang dan distribusi merata
  • Warna yang sesuai dengan jenis pekerjaan

Standar: Untuk pekerjaan kantor umum: 300-500 lux; pekerjaan detail: 500-1000 lux.

Dampak jika diabaikan: Kelelahan mata, sakit kepala, kesalahan kerja, dan kecelakaan akibat visibilitas rendah.

b. Suhu Udara (Temperature)

Temperatur atau suhu udara memainkan peran penting dalam bagaimana tubuh manusia mempertahankan suhu ideal. Menurut Sukoco (2007), temperatur ideal untuk ruang kantor adalah 23- 24°C. The Liang Gie (dalam Priansa & Garnida, 2015) menyebutkan suhu nyaman bagi sebagian besar pekerja adalah 25,6°C dengan kelembaban 45%. 

Berdasarkan Permenaker No. 5 Tahun 2018, NAB iklim kerja (suhu dan kelembaban) ditetapkan menurut kategori beban kerja dengan indeks suhu basah dan bola (ISBB/WBGT) sebagai berikut:

  • Kerja ringan: NAB ≤ 30,0°C WBGT
  • Kerja sedang: NAB ≤ 28,0°C WBGT
  • Kerja berat: NAB ≤ 26,0°C WBGT 

Dampak jika diabaikan: Heat stress (kelelahan panas, kram otot, heat stroke) atau hipotermia pada suhu ekstrem, penurunan konsentrasi dan produktivitas. 

c. Kelembaban (Humidity) 

Kelembaban adalah jumlah air yang terkandung dalam udara dan dinyatakan dalam persentase. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 1077/Menkes/PER/V/2011, tingkat kelembaban yang dibutuhkan dalam ruangan adalah 40-60% RH. Kelembaban yang terlalu tinggi dapat meningkatkan beban panas, sedangkan kelembaban terlalu rendah dapat menyebabkan iritasi saluran pernapasan dan dehidrasi. 

Dampak jika diabaikan: Kombinasi suhu tinggi dan kelembaban tinggi dapat menyebabkan dehidrasi, kelelahan, dan gangguan termoregulasi tubuh. Jika kelembaban rendah, pekerja lebih rentan mengalami gangguan kulit, iritasi mata, dan masalah pernapasan. 

d. Sirkulasi Udara (Air Circulation) 

Pertukaran udara sangat menentukan kesegaran fisik karyawan. Ruangan kerja yang sempit dengan jumlah karyawan banyak memerlukan pertukaran udara yang cukup untuk menjaga kualitas udara dan kadar oksigen. 

Dampak jika diabaikan: Kantuk, pusing, penurunan konsentrasi, dan penyebaran penyakit melalui udara. 

e. Kebisingan (Noise) 

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1405/MENKES/SK/XI/2002, kebisingan adalah bunyi yang tidak dikehendaki sehingga mengganggu atau membahayakan kesehatan. Nilai Ambang Batas (NAB) untuk pekerja dengan durasi 8 jam kerja adalah 85 dB. 

Dampak jika diabaikan: Gangguan pendengaran permanen (Noise-Induced Hearing Loss/NIHL), stres, gangguan komunikasi, dan kesalahan kerja. 

f. Getaran (Vibration) 

Getaran dapat berupa getaran tangan-lengan (hand-arm vibration) atau getaran seluruh tubuh (whole-body vibration). NAB pajanan getaran menurut Kepmenaker No. Kep-51/MEN/1999: 

  • 4 jam – <8 jam: 4 m/det² (0,4 g)
  • 2 jam – <4 jam: 6 m/det² (0,61 g)
  • 1 jam – <2 jam: 8 m/det² (0,81 g)
  • <1 jam: 12 m/det² (1,22 g) 

Dampak jika diabaikan: Gangguan sirkulasi darah (Vibration White Finger), gangguan muskuloskeletal, dan gangguan neurologis.

g. Radiasi

Meliputi radiasi pengion (sinar-X, gamma) dan non-pengion (UV, inframerah, gelombang mikro, medan magnet).

Dampak jika diabaikan: Luka bakar, kerusakan jaringan, efek karsinogenik pada paparan jangka panjang.

 

2. Faktor Kimia

Faktor kimia berkaitan dengan bahan kimia atau senyawa berbentuk gas, uap, debu, aerosol, zat padat, atau cairan yang ada di tempat kerja.

Jenis Bahaya Kimia:

  • Gas beracun (CO, H₂S, klorin, amonia)
  • Debu (silika, asbes, debu kayu, debu logam)
  • Uap (pelarut organik, VOC)
  • Fume (uap logam dari pengelasan)
  • Asam dan basa kuat (H₂SO₄, HCl, NaOH)
  • Bahan kimia mudah terbakar atau meledak

Dampak jika diabaikan:

  • Iritasi mata, kulit, dan saluran pernapasan
  • Keracunan akut atau kronis
  • Penyakit paru-paru (pneumokinosis, absestois) kerusakan organ (hati, ginjal, sistem saraf)
  • Kanker pada perempuan jangka panjang
  • Kebakaran atau Ledakan

Pengendalian:

  • Ventilasi lokal (local exhaust ventilation)
  • Sistem tertutup untuk proses berbahaya
  • Substitusi bahan kimia dengan yang lebih aman
  • APD (respirator, sarung tangan kimia, pelindung mata)
  • Material Safety Data Sheet (MSDS) tersedia dan dipahami
  • Pemantauan konsentrasi kimia secara berkala
 

3. Faktor Biologi

Faktor biologi mencakup mikroorganisme atau organisme hidup yang dapat menimbulkan infeksi, alergi, atau reaksi biologis negatif, seperti bakteri, virus, jamur, parasit, dan alergen biologis.

Sumber Paparan:

  • Sektor kesehatan (rumah sakit, klinik, laboratorium)
  • Pengolahan limbah dan sampah
  • Industri makanan dan minuman Pertanian dan peternakan
  • Sistem HVAC yang tidak terawat (pertumbuhan jamur)

Dampak jika diabaikan:

  • Infeksi (TBC, hepatitis, HIV, COVID-19)
  • Reaksi alergi dan sensitisasi
  • Penyakit kulit (dermatitis)
  • Gangguan pernapasan (asma, pneumonitis)
  • Zoonosis (penyakit dari hewan ke manusia)

Pengendalian:

  • Ventilasi dan filtrasi udara (HEPA filters)
  • Prosedur penanganan limbah biohazard
  • APD lengkap (masker N95/N99, sarung tangan, gown, face shield)
  • Vaksinasi pekerja
  • Sterilisasi dan desinfeksi rutin
  • Pemantauan mikrobiologi udara dan permukaan
 

4. Faktor Ergonomi

Menurut Permenaker No. 5 Tahun 2018, faktor ergonomi adalah faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas tenaga kerja, disebabkan oleh ketidaksesuaian antara fasilitas kerja (cara kerja, posisi kerja, alat kerja, beban angkat) terhadap tenaga kerja.

Potensi Bahaya Ergonomi:

  • Postur tubuh janggal (membungkuk, memutar, jangkauan berlebihan)
  • Gerakan berulang (repetitive motion)
  • Pengangkatan beban manual melebihi kapasitas
  • Desain workstation tidak sesuai antropometri
  • Durasi kerja statis terlalu lama Kurangnya waktu istirahat

Dampak jika diabaikan:

  • Musculoskeletal Disorders (MSDs): nyeri punggung, leher, bahu
  • Carpal Tunnel Syndrome (CTS)
  • Tendinitis dan tenosinovitis
  • Low back pain kronis
  • Kelelahan otot dan sendi
  • Penurunan produktivitas jangka panjang

Pengendalian:

  • Redesign workstation sesuai antropometri pekerja
  • Alat bantu angkat (hoist, trolley, conveyor)
  • Rotasi pekerjaan untuk menghindari gerakan repetitif
  • Work-rest cycle yang teratur 
  • Pelatihan teknik kerja yang aman
  • Kursi dan meja yang adjustable
  • Peregangan dan exercise di tempat kerja
 

5. Faktor Psikologi

Faktor psikologi meliputi aspek yang berkaitan dengan tekanan mental, beban kerja, konflik peran, dan stres organisasi yang berpengaruh terhadap kesehatan mental pekerja.

Menurut Permenaker No. 5 Tahun 2018 Pasal 24, potensi bahaya psikologi meliputi:

  • Ketidakjelasan atau ketaksaan peran (role ambiguity)
  • Konflik peran (role conflict)
  • Beban kerja berlebih kualitatif dan kuantitatif
  • Pengembangan karir yang tidak jelas
  • Tanggung jawab terhadap orang lain

Dampak jika diabaikan:

  • Stres kerja kronis
  • Burnout (kelelahan emosional)
  • Gangguan kesehatan mental (ansietas, depresi)
  • Gangguan tidur (insomnia)
  • Penurunan produktivitas dan motivasi
  • Kesalahan kerja yang meningkat
  • Konflik interpersonal
  • Penyalahgunaan substansi (alkohol, obat-obatan)
  • Turnover karyawan tinggi

Pengendalian:

  • Program manajemen stres
  • Konseling dan dukungan psikologis
  • Klarifikasi peran dan tanggung jawab
  • Komunikasi organisasi yang efektif
  • Pengembangan karir yang transparan
  • Sistem penghargaan dan pengakuan
  • Work-life balance yang dijaga
  • Pembagian beban kerja yang adil
  • Pelatihan kepemimpinan untuk supervisor
  • Budaya kerja yang positif dan suporti

Proses Pengukuran dan Evaluasi Lingkungan Kerja

1. Identifikasi Bahaya

Langkah pertama adalah mengidentifikasi semua potensi bahaya di tempat kerja melalui:

  • Inspeksi tempat kerja
  • Wawancara dengan pekerja
  • Review data kecelakaan dan penyakit akibat kerja
  • Analisis proses kerja
  • Material Safety Data Sheet (MSDS)

2. Penilaian Risiko

Setelah identifikasi, dilakukan penilaian risiko untuk menentukan tingkat keparahan dan kemungkinan terjadinya bahaya.

3. Pengukuran

Pengukuran harus dilakukan dengan:

  • Metode yang tervalidasi: Sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI) atau standar internasional
  • Peralatan terkalibrasi: Alat ukur harus dalam kondisi baik dan terkalibrasi secara berkala
  • Personil kompeten: Dilakukan oleh ahli K3 atau lembaga terakreditasi
  • Dokumentasi lengkap: Semua hasil pengukuran harus didokumentasikan dengan baik

4. Evaluasi terhadap Standar

Hasil pengukuran dibandingkan dengan Nilai Ambang Batas (NAB) atau standar yang berlaku untuk menentukan apakah kondisi aman atau perlu tindakan pengendalian.

5. Pengendalian

Jika hasil pengukuran melebihi atau mendekati NAB, harus dilakukan pengendalian mengikuti hierarki pengendalian risiko:

Hierarki Pengendalian Risiko:

  1. Eliminasi – Menghilangkan bahaya sepenuhnya
  2. Substitusi – Mengganti dengan yang lebih aman
  3. Engineering Control – Pengendalian teknis (ventilasi, isolasi, peredam)
  4. Administrative Control – Prosedur kerja, rotasi, pelatihan
  5. APD (Alat Pelindung Diri) – Pilihan terakhir sebagai pelapis tambahan

6. Monitoring dan Review Berkala

Pengukuran dan evaluasi harus dilakukan secara berkala untuk memastikan efektivitas pengendalian dan mendeteksi perubahan kondisi kerja.

Frekuensi Pengukuran:

  • Minimal 1 tahun sekali untuk kondisi normal
  • Lebih sering jika terjadi perubahan proses, material, atau peralatan
  • Setelah kecelakaan atau insiden
  • Jika ada keluhan kesehatan dari pekerja

Penerapan Higiene dan Sanitasi Tempat Kerja

Selain pengukuran faktor bahaya, Permenaker No. 5 Tahun 2018 juga mengatur higiene dan sanitasi sebagai bagian dari K3 lingkungan kerja:

Aspek Higiene dan Sanitasi:

1. Bangunan Tempat Kerja

  • Kebersihan rutin dan struktur bangunan yang baik
  • Ventilasi alami atau mekanis yang memadai
  • Pengecatan ulang dinding/langit-langit minimal 5 tahun sekali
  • Lantai tidak licin dan mudah dibersihkan

2. Fasilitas Kebersihan

  • Tempat cuci tangan dengan sabun dan air bersih
  • Toilet/jamban yang memadai (minimal 1 untuk setiap 40 pekerja)
  • Tempat sampah yang cukup dan tertutup
  • Sistem pembuangan limbah yang memenuhi standar

3. Kebutuhan Udara

  • Sirkulasi udara minimal 0,3 m/detik
  • Pertukaran udara minimal 25 m³/jam per orang
  • Sistem ventilasi yang terawat dan berfungsi dengan baik

4. Tata Laksana Rumah Tangga (Housekeeping)

  • Kebersihan umum tempat kerja (5S/5R: Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu, Shitsuke)
  • Pengendalian hama (pest control)
  • Pengaturan lingkungan agar tidak tercemar biologis maupun kimia
  • Pemisahan area bersih dan kotor

Hubungan Lingkungan Kerja dengan Produktivitas

Produktivitas, menurut Sunyoto (2012), adalah sikap mental yang selalu berusaha dan mempunyai pandangan bahwa suatu kehidupan hari esok lebih baik dari hari ini. Dalam konteks kerja, produktivitas adalah rasio antara output (hasil kerja) dengan input (sumber daya yang digunakan).

Menurut Hasibuan (2012), indikator produktivitas kerja meliputi:

  1. Kemampuan – Keterampilan dan profesionalisme dalam bekerja
  2. Meningkatkan hasil – Upaya untuk meningkatkan output
  3. Semangat kerja – Motivasi untuk lebih baik setiap hari
  4. Pengembangan diri – Menghadapi tantangan dengan pembelajaran
  5. Mutu – Kualitas hasil pekerjaan
  6. Efisiensi – Perbandingan hasil dengan sumber daya

Penelitian menunjukkan bahwa lingkungan kerja yang baik dapat:

  • Meningkatkan produktivitas hingga 15-30%
  • Menurunkan tingkat absensi hingga 40%
  • Mengurangi kesalahan kerja hingga 25%
  • Meningkatkan kepuasan kerja dan retensi karyawan
  • Mengurangi biaya kesehatan dan kompensasi

Sebaliknya, lingkungan kerja yang buruk dapat menyebabkan:

  • Penurunan produktivitas 20-30%
  • Peningkatan angka kecelakaan dan penyakit akibat kerja
  • Turnover karyawan yang tinggi
  • Citra perusahaan yang buruk

Beban Kerja dan Lingkungan Kerja

Beban kerja adalah volume pekerjaan yang dibebankan kepada tenaga kerja baik berupa fisik maupun mental. Menurut Tarwaka, Solichul HA Bakri, dan Lilik Sudjaeng (2004), beban kerja dipengaruhi oleh:

Faktor Eksternal:

  • Tugas (task): Kompleksitas pekerjaan, tanggung jawab, dan tingkat kesulitan
  • Organisasi kerja: Lamanya waktu kerja, sistem shift, waktu istirahat
  • Lingkungan kerja: Faktor fisika, kimia, biologi, ergonomi, dan psikologi

Faktor Internal:

  • Kapasitas fisik dan mental pekerja
  • Status kesehatan
  • Usia dan jenis kelamin
  • Status gizi
  • Tingkat pendidikan dan keterampilan

Catatan Penting: Faktor lingkungan kerja (fisika, kimia, biologi, psikologi, dan ergonomi) yang tidak sesuai dapat memperberat beban kerja seseorang. Contohnya, bekerja dalam suasana bising dan panas akan lebih cepat lelah dan berkurang produktivitasnya. Sebaliknya, pada suasana suhu yang nyaman dan tenang, produktivitas meningkat dan kelelahan berkurang.

Hubungan Lingkungan Kerja dengan Kepuasan Kerja

Kepuasan kerja adalah keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dimana karyawan memandang pekerjaan mereka. Menurut Mathis & Jackson (2011), kepuasan kerja adalah keadaan emosi yang positif dari evaluasi pengalaman kerja seseorang.

Menurut Widodo (2015), indikator kepuasan kerja meliputi:

  • Gaji – Kesesuaian dengan kebutuhan dan keadilan
  • Pekerjaan itu sendiri – Elemen yang memuaskan dalam pekerjaan
  • Rekan kerja – Hubungan interpersonal yang menyenangkan
  • Atasan – Cara kepemimpinan dan komunikasi
  • Promosi – Kesempatan berkembang dan naik jabatan
  • Lingkungan kerja – Kondisi fisik dan psikologis tempat kerja

Lingkungan kerja yang baik berkontribusi signifikan terhadap kepuasan kerja, yang pada gilirannya meningkatkan motivasi, kinerja, dan loyalitas karyawan.

Tantangan dalam Implementasi

Beberapa tantangan yang sering dihadapi dalam penerapan K3 lingkungan kerja:

  1. Keterbatasan kompetensi – Kurangnya ahli K3 bidang lingkungan kerja yang kompeten
  2. Biaya investasi – Alat ukur, pengendalian, dan APD memerlukan investasi.
  3. Kurangnya komitmen manajemen – K3 dianggap sebagai biaya, bukan investasi
  4. Kesadaran pekerja rendah – Pekerja tidak memahami risiko dan pentingnya K3
  5. Standar yang belum lengkap – NAB untuk beberapa jenis paparan belum tersedia
  6. Monitoring tidak konsisten – Pengukuran dilakukan hanya untuk memenuhi regulasi, tanpa tindak lanjut

Kesimpulan

Pengukuran lingkungan kerja bukan sekadar formalitas untuk memenuhi regulasi. Ini adalah investasi strategis untuk melindungi kesehatan pekerja, meningkatkan produktivitas, mengurangi biaya akibat kecelakaan dan penyakit akibat kerja, serta meningkatkan citra perusahaan.

Permenaker No. 5 Tahun 2018 mewajibkan perusahaan untuk mengukur dan mengendalikan lima faktor bahaya: fisika, kimia, biologi, ergonomi, dan psikologi. Pengukuran harus dilakukan dengan metode yang tervalidasi, oleh personil kompeten, dan hasilnya harus ditindaklanjuti dengan pengendalian yang efektif mengikuti hierarki pengendalian risiko.

Lingkungan kerja yang aman, sehat, dan nyaman bukan hanya kewajiban hukum, tetapi juga kunci untuk mencapai produktivitas optimal, kepuasan kerja yang tinggi, dan kesejahteraan pekerja jangka panjang. Dengan penerapan K3 lingkungan kerja yang tepat sesuai Permenaker No. 5 Tahun 2018, perusahaan dapat menciptakan tempat kerja yang berkelanjutan, di mana pekerja terlindungi, produktif, dan puas dengan pekerjaan mereka.

Pastikan tim Anda memiliki kompetensi resmi di bidang ini. Ikuti Pelatihan dan Sertifikasi Kemnaker RI – Ahli K3 Lingkungan Kerja serta Sertifikasi BNSP HIMU, HIMA, dan HIU bersama AKUALITA. Daftarkan perusahaan Anda sekarang untuk mewujudkan tempat kerja yang lebih aman, sehat, dan produktif.

Daftar Pustaka

  1. Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia. (2018). Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 5 Tahun 2018 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lingkungan Kerja. Jakarta: Kemenaker RI.
  2. International Labour Organization (ILO). (2019). Safety and health at the heart of the future of work: Building on 100 years of experience. Geneva: ILO.
  3. Sedarmayanti. (2013). Manajemen Sumber Daya Manusia: Reformasi Birokrasi dan Manajemen Pegawai Negeri Sipil. Bandung: PT Refika Aditama.
  4. Mangkunegara, A. P. (2013). Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
  5. Heizer, J., & Render, B. (2015). Operations Management: Sustainability and Supply Chain Management (11th ed.). London: Pearson Education.
  6. Robbins, S. P. (2002). Prinsip-Prinsip Perilaku Organisasi. Jakarta: Erlangga.
  7. Sukoco, N. E. W. (2007). Manajemen Administrasi Perkantoran Modern. Jakarta: Erlangga.
  8. Priansa, D. J., & Garnida, A. (2015). Manajemen Perkantoran: Efektif, Efisien, dan Profesional. Bandung: Alfabeta.
  9. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1405/MENKES/SK/XI/2002 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri.
  10. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1077/Menkes/PER/V/2011 tentang Pedoman Penyehatan Udara dalam Ruang Rumah.
  11. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep-51/MEN/1999 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di Tempat Kerja.
  12. Tarwaka, Solichul HA Bakri, & Lilik Sudjaeng. (2004). Ergonomi untuk Keselamatan, Kesehatan Kerja dan Produktivitas. Surakarta: UNIBA Press.
  13. Hasibuan, M. S. P. (2012). Manajemen Sumber Daya Manusia (Edisi Revisi). Jakarta: PT Bumi Aksara.
  14. Sunyoto, D. (2012). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT Buku Seru.
  15. Mathis, R. L., & Jackson, J. H. (2011). Human Resource Management (13th ed.). Mason, OH: South-Western Cengage Learning.
  16. Widodo, S. E. (2015). Manajemen Pengembangan Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
  17. Firjatullah, J., Wolor, C. W., & Marsofiyati, M. (2023). Pengaruh Lingkungan Kerja, Budaya Kerja, dan Beban Kerja Terhadap Kinerja Karyawan. Jurnal Manuhara

FAQ

Karena regulasi ini mewajibkan perusahaan mengukur dan mengendalikan lima faktor bahaya: fisika, kimia, biologi, ergonomi, dan psikologi. Tanpa pengukuran yang benar, risiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja meningkat.

Jika hanya jadi arsip tanpa tindak lanjut, produktivitas bisa turun 20–30%, angka kecelakaan meningkat, dan biaya kesehatan perusahaan membengkak.

Dengan evaluasi dibandingkan Nilai Ambang Batas (NAB), penerapan hierarki pengendalian risiko, serta monitoring berkala yang dilakukan oleh personel kompeten atau lembaga terakreditasi.

Lingkungan kerja yang aman dan nyaman meningkatkan produktivitas hingga 30%, menurunkan absensi, serta mendorong loyalitas karyawan. Sebaliknya, kondisi buruk membuat pekerja cepat lelah, stres, bahkan turnover tinggi.

Selain melakukan pengukuran rutin, perusahaan dapat menugaskan staf mengikuti Pelatihan dan Sertifikasi resmi, seperti Ahli K3 Lingkungan Kerja Kemnaker RI atau Sertifikasi BNSP HIMU, HIMA, HIU untuk memastikan kompetensi higiene industri diakui secara nasional.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Picture of Hana Nuriy, SKM, MOHSSc

Hana Nuriy, SKM, MOHSSc

Picture of Anisa Hapsari, SKM

Anisa Hapsari, SKM

PT Adhikriya Kualita Utama (AKUALITA) adalah Perusahaan Jasa Keselamatan dan Kesehatan Kerja (PJK3) resmi yang menyelenggarakan pelatihan sertifikasi Ahli K3 Umum dari Kemnaker (Kementerian Ketenagakerjaan) dan sertifikasi BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi). 

AKUALITA juga menyediakan layanan konsultasi K3 yang mencakup keselamatan kerja, kesehatan kerja, lingkungan kerja, serta peningkatan sistem manajemen mutu di berbagai sektor industri.

Live Chat
Hubungi cs kami untuk pertanyaan lebih lanjut
(Customer Support)
(Customer Support)
(Kritik dan Saran)
Live Chat
Hubungi cs kami untuk pertanyaan lebih lanjut
(Kritik dan Saran)
(Customer Support)
(Customer Support)